Rabu, 29 Desember 2010

Pemekaran Kekuasaan



Kekuasaan adalah sebuah nikmat. Dengan kekuasaan, seseorang membuat orang lain patuh kepadanya. Tatkala menerima kepatuhan itu, saat itulah kenikmatan diperoleh. Siapa yang tak ingin orang patuh kepada kita? Kepatuhan ini tercipta karena ada oposisi biner antara “atasan” dan “bawahan”, atau “penguasa” dan “yang dikuasai”.

Kebanyakan “yang dikuasai” adalah rakyat. Mereka inilah yang memberi kepatuhan demi memperoleh tujuan bersama, yakni kesejahteraan. Namun kepatuhan ini terkadang disalahgunakan oleh “penguasa”. Mereka acap berbuat sewenang-wenang. Pada anggapannya, kekuasaan memang bisa dibuat sewenang-wenang. Dalam kesewenangan ini, rakyat diabaikan sehingga timbullah konflik kekuasaan. Rakyat mulai tak patuh sebagai representasi atas tindakan “penguasa” yang tidak lagi merakyat itu.

Bukan sekadar kepatuhan yang diperoleh. Ternyata, kekuasaan juga memperbesar akses yang diperoleh. “Penguasa” bisa saja mengambil akses orang “yang dikuasai”, sehingga secara duniawi mampu menyerap keuntungan lebih besar. Maka, kita memperoleh tontonan menakjubkan, para “penguasa” berlimpah materi, sementara “yang dikuasai” tetap saja berkubang susah.

Atas dasar itu, walau kemungkinan muncul konflik atas kekuasaan ini, tetap saja banyak orang memburu kursi kekuasaan. Berbagai cara ditempuh. Bisa lewat karier di birokrasi, bisa pula ikut pemilihan kepala daerah, dan yang kini sedang tren adalah mencoba keberuntungan lewat jalur calon legislatif. Saking banyaknya orang yang berburu kekuasaan, persainganpun semakin ketat saja. Semua trik dikerahkan, entah itu main uang atau tak mustahil menerapkan kekerasan.

Kekuasaan itu dikapling per wilayah. Calon kepala daerah jelas bersaing pada satu daerah saja. Calon legislatif bersaing di dalam partai dan daerah pemilihan (dapil). Maka, muncullah satu trik atas pertimbangan kapling ini, yakni membentuk partai politik baru dan wilayah baru. Fenomena pembentukan partai politik baru terlihat saat pendaftaran parpol menjelang verifikasi beberapa waktu lalu. Kita dikejutkan dengan bermunculan parpol baru. Jumlahnya cukup banyak, dan di antaranya harus memendam ambisi karena tak lolos verifikasi. Mereka yang lolos terdapat juga nama-nama baru yang akan meramaikan pemilihan legislatif mendatang. Para pemilih bakal dipusingkan dengan ukuran surat suara yang lebar sekali karena musti memuat jumlah parpol dan caleg yang banyak sekali.

Kemudian fenomena pembentukan wilayah baru ditunjukkan dengan istilah pemekaran wilayah. Permintaan pemekaran wilayah ini muncul di mana-mana. Ada tim yang sengaja dibentuk untuk menyukseskan pemekaran itu. Ada demo yang direkayasa untuk mempercepat pemekaran itu. Dan, kasus di Sumatera Utara, ketika sebuah demo berujung maut, menjadi potret buram dari ambisi pemekaran wilayah tersebut.
Jadi kita akhirnya bisa membaca, bahwa pemekaran wilayah ini sesungguhnya merupakan pemekaran kekuasaan. Alasan hakiki adalah demi meraih kekuasaan. Lantaran kalah bersaing di wilayah lain, maka sang oknum musti membentuk wilayah sendiri di mana peluang untuk menang terbuka lebar.

Sangat disayangkan jika pemekaran wilayah model begini diakomodasi pemerintah pusat. Sudah saatnya ditelaah benar, apakah pemekaran wilayah signifikan dengan peningkatan pelayanan masyarakat? Riset yang dilakukan Bappenas dan UNDP bisa dijadikan pegangan. Hasil riset itu menyatakan pemekaran daerah malah membuat boros anggaran. Sebab, kondisi perekonomian dan pelayanan masyarakat di daerah hasil pemekaran tidak membaik meskipun ada aliran dana dalam jumlah besar dari pusat. Dana ini dimaksudkan guna mendukung operasional daerah tersebut.

Riset itu bisa dijadikan alasan pemerintah pusat untuk melakukan moratorium pemekaran daerah. Atau kalau memang masih ragu, pemerintah pusat perlu melakukan evaluasi atas hasrat pemekaran daerah dari pelosok Nusantara. Riset dan evaluasi itu bisa memperkuat alasan untuk moratorium pemekaran daerah. Cara ini diharapkan juga bisa membatasi hasrat berkuasa yang ditunjukkan sejumlah orang.


1 komentar:

  1. hakiki pemekaran wilayah/daerah adalah membagi kuasa dan kewenanga tuk memperpendek rentang kendali pelayanan. bila sepanjang prosesnya di Indonesia saat ini belum capai tujuan itu, maka bukan kebijakan itu yang salah, tapi belum adanya evaluasi dan kontrol. Indonesia sangat luas dan besar dan desentralisasi mutlak diperlukan. Sekarang bagaimana kita meluruskan cita-cita luhur desentralisasi itu.

    BalasHapus